Oleh : Ratna Wilis
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali.
Tak mungkinlah kedua-duanya itu dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan,
tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, ialah manusia. Akan
tetapi manusia itu hidupnya tak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk
melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih satu orang, bahkan
harus lebih dari satu turunan. Dengan lain perkataan : harus diteruskan
kepada orang-orang sekitarnya dan kepada anak cucu serta keturunan
selanjutnya.
Binatang dapat pula meneruskan kepandaiannya kepada keturunannya,
tetapi yang diteruskan itu hanyalah apa yang dapat diturunkan melalui jalan
alam, jadi hanya mengenai kepandaian yang telah menjadi kodrat Ilahi menurut
jenis binatangnya sendiri. Burung umpamanya, sebagai anak dari burung pula
yang dikodratkan pandai membuat sarang, dapat pula membuatnya. Akan
tetapi ia tak dapat membuat sesuatu lainnya, bahkan pun mengubah bahan
atau bentuk sarangnya ia tak dapat. Tak ada padanya kehendak ataupun
hasrat sendiri yang dapat membebaskan dirinya dari ikatan dirinya sebagai
burung.
Lain halnya dengan manusia. Kecuali hal-hal yang diturunkan sebagai
kodrat, manusia dapat pula meneruskan kepandaian, pengalaman dan lain-lain
sebagainya, pendek kata seluruh kebudayaannya, kepada anak cucunya.
Kebudayaan ini tak dapat seseorang memilikinya, semata-mata oleh karena ia
menjadi anak dari manusia. Ia harus belajar, ia harus berusaha untuk
menjadikan kebudayaan itu miliknya. Kurnia yang dilimpahkan kepada manusia
untuk dapat mengajar, diajar dan belajar itulah yang memungkinkan
kebudayaan itu dapat berlangsung terus turun temurun.
Diteruskan kebudayaan itu tidak melalui garis tegak lurus ke bawah
(anak cucu dan selanjutnya), tetapi juga melalui garis mendatar, yaitu kepada
orang- orang lain sekitarnya. Memang manusia itu tak dapat hidup seorang
diri betul-betul, ia membentuk kelompok dengan orang-orang lain sifatnya
berbeda sekali dari gerombolan binatang, justru karena akalnya.
Penggabungan orang-orang yang disengaja itu disertai aturan-aturan tertentu
mengenai hubungan satu anggota sama lainnya, tata tertib, pembagian kerja
dan sebagainya. Gabungan yang sekecil-kecilnya antara laki-laki dan
perempuan merupakan keluarga, gabungan lebih besar lagi (biasanya antara
keluarga dengan keluarga) merupakan masyarakat. Maka pengalaman satu
anggota diteruskan kepada anggota lainnya, begitu pula kepandaiannya, buah
pikirannya dan sebagainya, pendek kata seluruh kebudayaannya, untuk
kemudian disusun dan diatur bersama guna memungkinkan dan melancarkan
penghidupan bersama itu sebagai masyarakat.
Cara-cara meneruskan kebudayaan demikian luasnya itu dimungkinkan
oleh karena manusia dikurniai pula dengan kepandaian berbicara. Bahasa
adalah alat perantara yang terutama sekali bagi manusia, alat yang tak ada
pada binatang. Dengan adanya bahasa tak usahlah manusia mengalami sendiri
sesuatunya untuk dapat mengetahuinya dan memahaminya. Cukuplah ia
mendengar dari orang lain. Ditambah lagi dengan pengalaman-pengalaman
sendiri maka semakin luaslah pengetahuan yang menjadi milik manusia itu.
Tetapi kesanggupan manusia itu terbatas. Akhirnya tak mungkinlah ia
mendukung seluruh kepandaian yang menjadi milik bersama. Hanya yang
langsung mengenai dirinya sendiri sajalah yang menjadi miliknya sungguh-
sungguh. Yang lainnya tetap ada di luar kekuasaannya.
Kekurangan pada manusia seorang diri itu ditampung oleh masyarakat.
Hal ini mungkin, oleh karena para anggota masyarakat itu tentu tidak sama
minatnya, berlainan kepentingannya, berbeda-beda kesanggupannya,
meskipun masih tetap dalam lingkungan bersama. Maka sesungguhnyalah,
pendukung kebudayaan itu bukanlah manusia seorang diri melainkan
masyarakat seluruhnya.
( RATNA)