Awesome Image

Museum berbentuk “BLU”, Mungkinkah ?

Oleh : Vandrowis*

Keberadaan lembaga yang bernama museum di Indonesia sudah lebih dari dua  abad sejak berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen tahun 1778 yang sekarang dinamakan Museum Nasional Indonesia,sejarah panjang keberadaan museum merupakan warisan barat yang dibawa ke timur dan sudah menjadi budaya di Indonesia. 

Menurut UNESCO (1973) sendiri, pendirian museum di Indonesia dimulai sejak tahun 1778 saat The Batavian Society of Arts and Science mendirikan museum sejarah dan budaya Indonesia yang memicu pendirian museum lainnya seperti Museum Sonobudoyo, Museum Radya Pustaka, Museum Bali, Museum Karo, Museum Banjarmasin serta Museum Zoologi.

 

Ekspedisi ilmiah, temuan-temuan penduduk pribumi, rampasan perang, serta upeti dari jajahan menghiasi koleksi museum-museum terkenal di Eropa. Koleksi yang kurang lebih sama juga mengisi museum umum di Indonesia, baik dalam bentuk klasifikasi temuan arkeologi, etnografi, geologi, atau artefak-artefak budaya lainnya.

 

Persoalan kenapa beberapa museum milik pemerintah di eropa berhasil menjalankan operasional kegiatan museum secara baik, kenapa museum-museum swasta yang baru tumbuh di Indonesia dapat juga berhasil memikat ratusan pengunjung dengan harga tiket yang luar biasa tinggi. Tapi museum pemerintah malah mengalami hal yang sebaliknya, apakah ada yang salah dengan koleksi, SDM, atau manajerial pengelola museum milik pemerintah.

 

Tidak perlu lagi mencari kesalahan siapa yang membuat museum-museum pemerintah sepi pengunjung dan kurang menarik, saatnya harus ada upaya bersama bagaimana mengembalikan posisi museum sebagai objek vital di negara ini.

 

Sedikit menganalisa proses teknis sejarah keberadaan museum-museum milik pemerintah di Indonesia, untuk mendirikan dan mengelola museum pemerintah, lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah membentuk UPT sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/18/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian LPNK) (Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor PER/18/M. PAN/11/2008), menyatakan bahwa UPT merupakan satuan kerja yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang tertentu dari organisasi induknya. UPT bersifat mandiri dan diberikan kewenangan untuk mengelola kepegawaian, keuangan, dan perlengkapan sendiri layaknya satuan kerja pada pemerintah pusat/pemerintah daerah. 

 

Di samping itu, tempat kedudukan UPT terpisah dari organisasi induk. UPT mempunyai tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang serta urusan Pemerintah yang bersifat pelaksanaan dari organisasi induknya. UPT pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik. Dalam aturan sudah sangat jelas dan sesuai dengan peran museum di masyarakat saat ini.

 

Sebagai UPT yang melekat pada label museum, sumber pendanaannya berasal dari anggaran kementerian/lembaga atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan menjadi anggaran rutin, anggaran pembangunan dan anggaran biaya tambahan. Museum berperan bukan hanya sebagai tempat untuk pelestarian budaya dan pendidikan namun juga berperan sebagai tempat wisata untuk menambah Penghasilan Asli Daerah (PAD) (Syarief, 2004). Dari segi sumber daya manusia, sebagian besar pegawai UPT museum merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas untuk melaksanakan tugas administrasi museum yang secara alamiah dan terus tergerus jumlahnya dengan adanya kebijakan moratorium calon pegawai negeri sipil.

 

Namun dalam perkembangannya, UPT museum pemerintah ini masih menghadapi berbagai masalah. Permasalahan dapat dikelompokkan menjadi dua permasalahan utama yaitu keterbatasan dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia (Ujianto, 2015). Permasalahan tidak sebatas pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia menurut Mustiko (2012) yang dikutip dari Ujianto, menyatakan bahwa pengelola museum merasakan penurunan anggaran untuk pengelolaan museum sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Dalam masa otonomi daerah, pengelolaan museum diserahkan dari UPT pemerintah pusat kepada UPT pemerintah daerah. Soedarsono (2008) berpendapat bahwa alokasi anggaran museum yang diberikan pun lebih banyak untuk kegiatan rutin, sedangkan anggaran pengembangan maupun penelitian koleksi sangat sedikit atau bahkan tidak ada anggaran yang menyebabkan pengelola museum hanya melaksanakan tugas-tugas pokok museum saja.

 

Yulianti (2011) menyatakan bahwa museum pemerintah masih kekurangan ruang tata pamer temporer yang menunjang pameran tetap, ruang penyimpanan koleksi yang memadai, ruang laboratorium koleksi yang representatif, ruang preparasi koleksi yang mumpuni, serta prasarana lain seperti kafe, perpustakaan, atau restoran serta toko souvenir untuk menunjang kegiatan museum. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (2015) menjelaskan bahwa sistem pengelolaan museum yang lemah menyebabkan kualitas dan kuantitas koleksi dan kegiatan museum terus menurun.

 

Sudah terlalu banyak referensi untuk menilai kekurangan museum pemerintah di Indonesia, terus bagaimana solusinya ? Apakah mungkin museum dilakukan privatisasi atau swastanisasi supaya lebih berkembang seperti museum swasta. Pertanyaan ini terus mengelitik setiap mengunjungi museum-museum swasta di Indonesia atau museum di luar negeri.  Menghadirkan investor untuk privatisasi atau swastanisasi pengembangan museum nantinya malah mengahlikan fungsi museum kepada kegiatan ekonomi lainnya yang lebih menguntungkan investor.

 

Pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh museum pemerintah harusnya sejalan dengan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2013) yang menyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk memenuhi dan melaksanakan pengelolaan keuangan serta mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan museum pemerintah maka dibutuhkan terobosan baru dalam pengelolaan museum pemerintah dengan menggunakan pola pengelolaan badan layanan umum (BLU) (Ujianto, 2015).

 

Secara lebih terperinci, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas serta penerapan praktik bisnis yang sehat.

 

Singkat cerita apakah BLU bisa menjadi langkah tepat untuk mengoptimalkan museum dibandingkan dengan privatisasi, karena bukan hanya pengelola yang harus kerja keras tetapi komunitas dilingkungan museum sebagai kelompok pecinta museum harus bersinergi dan siap menerima perubahan termasuk pengambil kebijakan.

 

Coba kita bandingkan tujuan UPT dan BLU yang di kutip dari Ujianto (2015):

 

“Tugas UPT melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang serta urusan pemerintah yang bersifat pelaksanaan dari organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik”.

 

“Sedangkan tugas BLU Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat”.

 

Kesimpulannya fleksibilitas dalam Pengelolaan Badan Layanan Umum ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga tingkat kepuasan masyarakat atas museum pemerintah akan meningkat. Rasanya kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa, perlu dikupas lagi apa saja praktik bisnis sehat yang bisa dilakukan oleh museum, bagaimana konsep pendapatan BLU ini telah dipraktikkan oleh museum-museum pemerintah di luar negeri sebagai rujukan, dan yang lebih penting bagaimana museum swasta di negeri ini mengelola sumber daya manusia nya mempekerjakan tenaga profesional serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya.

 

Semoga wacana Museum berbentuk BLU bisa dikaji lebih bijaksana. Aamiin. (Ivan)