Museum “Adityawarman” provinsi Sumatera Barat, yang terletak di Jalan Ponegoro no. 10 Padang, Sumatera Barat, dikenal mempunyai taman yang luas, di dalam taman tersebut dibuatkan beberapa monumen yang bersejarah yang bisa dilihat oleh pengunjung museum. Salah satu monumen tersebut yaitu monumen patung Bapak Bagindo Aziz Chan. Bagindo Aziz Chan lahir pada tanggal 30 September 1910 di Alah Lawas kota Padang. Ibunya bernama Djamilah yang berasal dari Sunur, Padang Pariaman dan ayahnya bernama Bagindo Montok berasal dari Kurai Taji, Padang Pariaman. Pasangan suami istri ini dikaruniai 6 orang anak yaitu Bagindo Joesoef, Naimah Jahya, Nurlela, Bagindo Abdul Azin Chan, Bagindo Bustamam dan yang paling bungsu Bagindo Munir. Ayahnya seorang Abtenaaren (Pegawai) Hindia Belanda yaitu sebagai kepala stasiun kereta api di Padang. Pada tahun 1919 masuk HIS (SD) di kota Padang lalu pada tahun 1926 masuk MULO (SMP) di Surabaya setelah itu masuk AMS (SMA) di Batavia (Jakarta). Setelah tamat AMS masuk kuliah di RHS (Sekolah Hakim Tinggi) di Batavia, tapi tidak tamat karena tidak ada biaya. Walaupun begitu bukan berarti dia tidak punya kegiatan. Pada tahun 1933 dia aktif di JIB (Jong Islamiten Bond), suatu organisasi yang bersifat non koopratif dengan Belanda. Pada tahun 1935 kembali ke Padang dan menjadi guru di MIK (Modern Islamische Kweeschool) dan Islamic Colloge di Bukittinggi. Tahun 1943 aktif di Seika gansyu Hokokal (Badan Kebakhtian Rakyat) Sumatera Barat, sebagai anggota. Dimana dia mengurus soal-soal logistic pemerintahan Jepang. Jasanya terlihat ketika dia mengantarkan makanan kepada para pekerja paksa di Logas. Pada tahun 1945 aktif di BPPI (Balai Penerangan Pemuda Indonesia) di Pasa Gadang, kota Padang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 merupakan puncak karir politik Bapak Bagindo Aziz Chan, dimana dia diangkat menjadi walikota Padang yang ketiga menggantikan Mr. Abu Bakar Djaar yang mendapat tugas sebagai Residen Sumatera Timur. Dimasa kepemimpinannya dia dikenal sebagai walikota yang pemberani, pejuang dan berkepribadian keras oleh pemerintah Hindia Belanda. Kematian Bapak Bagindo Aziz Chan sungguh begitu cepat dan misterius. Tepatnya, Minggu 19 Juli 1947 pukul 17.00, saat-saat berbuka puasa (Ramadhan 1368 H). Sore itu Bapak Bagindo Aziz Chan berencana ke kota Padang Panjang dan Bukittinggi karena ada pertemuan pejabat pemerintah disana. Mereka berangkat dengan mobil SB-6 yang dikemudikan Pingai. Sampai di jembatan Ulak Karang mobil tersebut diberhentikan oleh tentara Belanda. Bagindo Aziz Chan diberitahu bahwa Letkol. Van Erp (Perwira yang bertanggung jawab atas keamanan kota) ingin mengadakan pembicaraan dengannya. Beberapa menit kemudian Van Erp tiba dan langsung memberitahukan bahwa telah terjadi baku tembak antara pejuang republik dengan tentara Belanda di daerah garis demarkasi di Nanggalo. Oleh sebab itu Letkol. Van Erp meminta Bapak Bagindo Aziz Chan menaiki Jeep Van Erp tanpa rasa curiga, namun istrinya , Raden Ayu Entis Atisah dan seorang staf walikota, Marzuki ingin ikut. Tapi Bapak Bagindo Aziz Chan melarangnya. Setelah tiba di Nanggalo, Van Erp menyuruh Bapak Bagindo Aziz Chan turun dan beberapa orang perwira Belanda memukulnya dari belakang disertai dengan sebuah tembakan yang mengena pangkal telinga Bapak Bagindo Aziz Chan. Jenazahnya dibawa ke rumah sakit umum Padang oleh Belanda. Berita kematian Bapak Bagindo Aziz Chan baru diketahui oleh istrinya dan Marzuki beberapa jam kemudian, tepatnya disaat orang berbuka. Kota Padang heboh termasuk Sumatera Barat. Residen M. Rasyid di Bukittinggi menerima berita simpang siur, bahwa ia dibunuh oleh PKI di Lubuk Buaya. M. Rasyid berusaha menelpon ke Padang tetapi putus. Akhirnya ia membuat keputusan besok berangkat ke Padang. Sehabis makan sahur M. Rasyid dan rombongan berangkat. Rombongan terdiri dari Nasharuddin Taha (Kepala Jawatan Agama). Hamka (Konsul