Oleh: Fahyu Yeretti
Minangkabau menurut Tambo masyarakat adat dari Luhak Tanah Datar
dikaitkan dengan kisah adu kerbau. Kisah Kedatangan pasukan Jawa dalam
jumlah besar tapi disambut oleh pemuka masyarakat cadiak pandai (Datuak
Maharajo Dirajo, Datuak Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai) dengan adu kepintaran
yang salah satunya adalah “Adu Kerbau”, pasukan jawa dengan kerbau besar
sedangkan nenek moyang kita memiliki kerbau kecil yang belum tumbuh
tanduknya, maka pemuka masyarakat minta izin memasang besi runcing tajam di
atas kepala kerbau. Karena pasukan jawa yakin akan menang dengan kerbau
besarnya, maka diizinkanlah Pemuka masyarakat untuk memasang besi tajam
runcing di atas kepala kerbau kecil. Besi tajam dan runcing inilah disebut dengan
“Minang”, karena dipasang pada kerbau, maka disebutlah sebagai
“Minangkabau”.
Pada saat pertandingan akan dimulai, kerbau kecil digiring ketengah
gelanggang yang telah dinanti oleh kerbau besar, kerbau kecil yang melihat kerbau
besar ini langsung menyeruduk ke bawah perut kerbau besar seperti hendak
menyusu pada induknya, tentu saja “Minang” (besi tajam runcing) pengganti
tanduk kerbau kecil ini mulai bekerja sehingga perut kerbau besar itu robek sampai
keluar ususnya atau “tersimpuruik” (terburai) seluruh isi perutnya dan kawasan
sekitar tempat terburai berut kerbau itu disebut “Nagari Simpuruik”. Pasukan Jawa
akhirnya kembali ke negerinya dan orang yang menang disebut dengan “orang
Minang” dan wilayah yang didiami disebut Wilayah Minangkabau. Orang
Minangkabau sejak dulu sudah terkenal juga dengan kepintarannya, kaya makna
serta punya kearifan lokal sangat tinggi layaknya warisan sebuah pusat peradaban
yang tinggi. Orang Minang sejak dulu memang pintar, cerdik, mandiri, ulet, dan
memiliki perhitungan yang matang. Hal ini dapat kita lihat dari kisah “Pacu
Kerbau” di atas, dimana pemuka masyarakat dengan cerdiknya memasang
besi tajam runcing (Minang) di kepala Kerbau kecil sebagai pengganti tanduknya,
sehingga kerbau kecil yang dipandang sebelah mata oleh musuh ternyata dapat
memenangkan pertandingan dengan mengalahkan kerbau besar milik musuh
tersebut.
Penulis melihat
bahwa asal muasal
ranah minang atau
lam Minangkabau
meliputi wilayah darek dan wilayah rantau. Konon kabarnya nenek moyang kita
berasal dari sapiah balahan tigo jurai yaitu Nan tuo Maharajo Alif nan tingga di
Banua Ruhum, nan tangah Maharajo, Dipang nan tingga di Banua Cino, nan
bungsu Maharajo Dirajo turun di Pulau Ameh ( Pulau Sumatera). Berdasarkan
Tambo Alam Minangkabau yang menyatakan bahwa nenek moyang orang minang
berasal dari Tanah Basa (Tanah Asia atau Benua Asia). Asal Muasal nenek
moyang kita bila ditafsirkan sebagai daerah territorial atau kawasan yang dikenal
sebagai “ Tanah Basrah” di Timur Tengah (Irak dan Persia saat ini). Penulis
tertarik sekali tentang Kedatangan nenek Moyang orang Minangkabau yaitu mulai
berlayar melewati Linggopuri menuju Samudera Indonesia terus ke Malaka. Nenek
moyang kita yang berlayar ke Teluk Persia melewati selat Hormundz terus
menyusuri benua Asia.
Nenek Moyang kita dari Tanah Basa ( Tanah Besar atau daratan Benua Asia)
berlayar menuju Pulau Lakadewa melalui Serindit dan bermukim di Ranah
Minang.
Tempat bermukim pertama dijadikan oleh nenek moyang kita adalah
Pariangan Padang Panjang seterusnya manaruko mencari daerah baru pada tiga
Luhak: Datuak Parpatiah Nan Sabatang ke Luhak Tanah Data, Datuak
Katumanggungan ke Luhak Agam serta Datuak Sri Maharajo nan Banegonego ke
Luhak Limopuluah, maka terjadilah perbauran antara masyarakat yang pindah dari
Pariangan Padang Panjang dengan masyarakat yang lebih dahulu di daerah yang
menjadi tempat tujuan ( tempatan) sesuai dengan ungkapan adat datang, pusako
mananti. Kesatuan dari perbauran inilah yang kemudian terus berkembang menjadi
Alam Minangkabau. (FY)