Swafoto atau foto narsisis (bahasa Inggris: selfie) adalah jenis foto potret diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon kamera. Foto narsisis sering dikaitkan dengan narsisisme, terutama dalam jejaring sosial. Di industri hiburan Korea, istilah yang digunakan adalah selca (singkatan untuk self camera). Pose yang digunakan umumnya bersifat kasual, dan diambil dengan menggunakan kamera yang diarahkan ke diri sendiri, atau bisa juga melalui cermin. Objek foto ini biasanya hanya si fotografer atau beberapa orang yang bisa dijangkau oleh fokus kamera. Foto narsisis yang melibatkan beberapa orang disebut dengan "foto narsisis kelompok". Pada tahun 2013, kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford English Dictionary versi daring, dan bulan November 2013, Oxford Dictionary menobatkan kata ini sebagai Word of the Year tahun 2013, menyatakan bahwa kata ini berasal dari Australia. Mengambil foto diri sendiri sudah dilakukan sejak munculnya kamera boks Kodak Brownie pada tahun 1900. Metode ini biasanya dilakukan melalui cermin. Putri Kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna, adalah salah satu remaja yang diketahui pertama kali mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya pada tahun 1914. Dalam surat yang dikirim bersama foto itu, ia menulis: "Saya mengambil foto ini menggunakan cermin. Sangat susah dan tangan saya gemetar". Awal penggunaan kata selfie terjadi pada tahun 2002. Kata ini pertama kali muncul dalam sebuah forum Internet Australia (ABC Online) pada tanggal 13 September 2002. Kegiatan selfie atau swafoto kini seakan menjadi hal wajib saat seseorang mengunjungi sebuah obyek wisata. Di tengah pro kontra, kegiatan itu ternyata menjadi konsep berdirinya sebuah museum. Museum Of Selfies yang dibangun oleh Tommy Honton dan Tair Madevov bertujuan untuk membuat pengunjung merasa dunia seni dapat diakses karena menghubungkan diri dengan warisan potret. Melansir Mashable, Rabu (10/1/2018), museum yang terletak di Los Angeles, Amerika Serikat ini berharap bisa membuat pengunjungnya merenung untuk melihat peran yang dimainkan oleh diri sendiri dalam kehidupannya. Mengunjungi museum, pameran seni, atau konser, sudah jadi agenda banyak orang muda. Namun, berfoto dan merekam video menjadi aktivitas yang paling banyak dilakukan di acara tersebut. Budaya membagikan apa yang kita lihat dan alami di media sosial yang berlebihan (oversharing) bisa jadi menyebalkan. Paling tidak untuk pengunjung atau penonton lain yang memang ingin menikmati acara tapi terpaksa tertutup kerumunan orang yang ingin mengambil foto. Setiap orang ingin mendokumentasikan pengalaman mereka dengan ponsel dan memberi "bukti" pada orang lain dengan membagi fotonya di media sosial sebagai identitas diri. Identitas, merupakan sebuah hal yang penting di dalam suatu masyarakat yang memiliki banyak anggota. Identitas membuat suatu gambaran mengenai seseorang, melalui; penampilan fisik, ciri ras, warna kulit, bahasa yang digunakan, penilaian diri, dan faktor persepsi yang lain, yang semuanya digunakan dalam mengkonstruksi identitas budaya. Identitas menurut Klap (Berger, 2010: 125) meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri – statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Gudykunst (2002: 225), menyatakan bahwa identitas merupakan hal yang penting dalam sebuah komunikasi budaya. Konsep identitas juga dapat dilihat dari aspek budaya (Tingtoo-mey, dalam Gudykunst, 2002: 214) yang didefinisikan sebagai emotional signifikan, yang membuat seseorang dilekatkan pada suatu hal, yang membedakannya dengan orang lain sehingga lebih mudah untuk dikenal. Fenomena masyarakat tersebut ditemui di berbagai negara dan menjadi masalah untuk beberapa museum. Museum de Young di San Francisco, AS, dalam beberapa tahun terakhir menerima ribuan keluhan dari pengunjungnya karena pameran tahunan yang dinantikan, Bouquets to Art, "diambil alih" oleh penggila foto dan pengguna ponsel. Bouquets to Art merupakan pameran yang sudah berjalan selama 34 tahun. Dalam acara ini para perajin bunga diundang untuk menciptakan kembali karya dari karya seni yang terdapat di museum ini dengan bunga. Karya yang dipajang dalam pameran ini memang Instagramable, alias sangat menarik untuk dipajang di Instagram. Pengunjung yang merasa terganggu dengan aksi penggila foto menganggap penggunaan ponsel yang berlebihan itu mengganggu mereka dalam menikmati sebuah karya. Mereka pun akhirnya malas untuk datang ke pameran. "Sebagian orang ingin bisa menikmati karya seni dan menghormatinya, dan kami harus menghargai itu," kata kepala marketing komunikasi de Young Museum, Linda Butler. Di lain pihak, pengelola museum juga merasa diuntungkan dengan beredarnya foto-foto koleksi museum karena bisa menarik lebih banyak pengunjung. Sebagai jalan tengahnya, museum ini sejak tahun lalu menetapkan jam bebas foto selama pameran Bouqets to Art yang berlangsung dari 13-18 Maret 2018. Pemeran ini singkat karena bunga yang dipakai semuanya bunga segar. Dalam debat tentang apakah Instagram "membunuh budaya museum", sebagian orang berpendapat bahwa mereka yang selalu sigap dengan ponselnya untuk memotret segala sesuatu sebenarnya telah kehilangan pengalaman berharga. Menurut sebuah studi, orang yang selalu memotret kegiatannya dari pada melakukan pengamatan atau menyelami pengalamannya, justru lebih sulit mengingat apa yang mereka alami. Sebuah patung berusia 300 tahun, salah satu koleksi Museum Nasional Seni Kuno di Lisbon, Portugal, hancur karena jatuh akibat tersenggol oleh turis yang hendak mengambil foto "selfie". Pihak pengelola museum mengatakan, the statue of Saint Michael, yang dibuat pada tahun 1700-an, pecah dan kini dalam perbaikan. Dari segelintir kasus rusaknya karya seni, selfie menjadi salah satu penyebabnya. Pada Maret 2014, patung berharga dari abad ke- 19 itu rusak pada bagian kakinya akibat selfie seorang pelajar. Insiden itu terjadi saat seorang pelajar nekat naik untuk duduk di pangkuan patung. Hal itu mendadak sontak mengakibatkan kerusakan pada bagian kaki patung akibat tak mampu menahan berat pelajar tersebut. Patung itu sendiri sebenarnya menggambarkan 'Satyr Drunken' atau Barberini Faun, patung Yunani kuno dari zaman Helenbis yang menunjukkan manusia mirip dengan binatang. Beruntungnya, karya seni itu hanya patung salinan. Meski begitu, tindakan sembrono itu bisa saja mengakibatkan kerusakan pada patung lainnya yang tak kalah penting. Apalagi di akademi seni Brera di Milan juga memiliki karya- karya berharga lainnya. Untuk kurator museum harus dapat memahami mengenai fenomena ini dan menjadikan strategi untuk menata koleksi secara baik dan benar, memberi peluang kepada pengunjung untuk melakukan swafoto merupakan hal baik untuk dapat meningkatkan kunjungan tetapi memberikan batasan terhadap koleksi dan pengunjung merupakan hal yang wajib. (Ivan)